Jumat, 30 September 2011

TETANUS NEONATORIUM

TETANUS NEONATORUM

PENGERTIAN
Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum :
Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).
ETIOLOGI
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada :
   1. Ganglion pra sumsum tulang belakang :
      Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
   2. Otak :
      Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
   3. Saraf otonom :
      Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.
GEJALA KLINIS
Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
Gambaran Umum pada Tetanus
   1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
      Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
   2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
      Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
      sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
   3. Opisthotonus
      Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
      Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
   4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
   5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
   6. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
      Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
      Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
      Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retention urinae.
      Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
Derajat I  (tetanus ringan)
     Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm)
  • Kekakuan umum
  • Tidak dijumpai kejang
  • Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
      Trismus (lebar kurang dari 1 cm)
·         Kekakuan umum makin jelas
·         Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Derajat III A. tetanus berat
Trismus berat (kedua baris gigi rapat)
  • Otot sangat spastis, timbul kejang spontan
  • Takipnea, takikardia
  • Apneic spell (spasme laryng)
Derajat III B.  tetanus dengan gangguan saraf otonom
  • Gangguan otonom berat
  • Hipertensi berat dan takikardi, atau
  • Hipotensi dan bradikardi
  • Hipertensi berat atau hipotensi berat
PENGOBATAN
Terapi dasar tetanus
Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
        Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau
        Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam
Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
Imunisasi aktif-pasif
        Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG)   3000-6000 IU i.m.
        Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.


Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
        Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
-       neonatus bolus 5 mg iv
-       anak bolus 10 mg iv
        Dosis rumatan maximal :
-       anak 240 mg/hari
-       neonatus 120 mg/hari
        Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan  bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.
        Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari)
        Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.
Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.
Terapi suportif
        Bebaskan jalan nafas
        Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
        Pemberian oksigen
        Perawatan dengan stimulasi minimal
        Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang
        Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
        Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
Tetanus ringan dan sedang
Diberikan pengobatan tetanus dasar
Tetanus sedang
        Terapi dasar tetanus
        Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
        Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.
Tetanus berat/sangat berat
        Terapi dasar seperti di atas
        Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi
        Balans cairan dimonitor secara ketat.
        Apabila spasme sangat hebat (tetanus  berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam.
        Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan -blocker seperti propanolol/ dan - blocker labetalol.

PENCEGAHAN
I. Imunisasi aktif
   a.  Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).
   b.  Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT  lifelong-card).
II. Pencegahan pada luka
  • Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
  • Luka ringan dan bersih
-       Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin
-       Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
        Luka sedang/berat dan kotor
-       Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau  tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.
-       Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U.
MONITORING
I.  Sekuele
  • Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama.
  • Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.
  • Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang
  • Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
  • Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat.
Imunisasi TT merangsang pembentukan antibody spesifik yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan terhadap tetanus. Ibu hamil mendapatkan imunisasi TT, sehingga terbentuk antibody dalam tubuhnya. Antibody tetanus termasuk golongan Ig G, melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin yang dapat mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Gejala
  • Bayi yang semula dapat menetek, kemudian sulit menetek karena kejang otot rahang dan faring
  • Mulut bayi mencucu seperti mulut ikan
  • Kejang terutama bila terkena rangsang cahaya, suara, sentuhan
  • Kadang disertai sesak nafas dan mulut bayi membiru
  • Suhu tubuh meningkat
  • Kaku kuduk
  • Kekakuan disertai sianosis
  • Nadi meningkat
  • Berkeringat banyak
  • Tidak dapat menangis lagi
  • Mata terus tertutup
  • Dinding perut keras
  • Kesadaran baik
Penanganan
  • Mengatasi kejang dengan memberikan suntikan antispasmodik
  • Membersihkan jalan nafas agar bayi dapat menghirup udara dengan bebas
  • Pemasangan spatel lidah yang dibungkus dengan kain untuk mencegah lidah tergigit
  • Mencari tempat masuknya spora tetanus pada tali pusat atau telinga
  • Mengobati penyebab tetanus dengan antibiotika
  • Melakukan perawatan yang adekuat, dengan pemberian oksigen, nutrisi serta menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
  • Ditempatkan di ruang tenang dengan sedikit sinar
PENCEGAHAN
Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih alat.
  1. Bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.
  1. Bersih alas
Tempat atau alas  yang dipakai untuk persalinan harus bersih, karena clostrodium tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran.
2.      Bersih alat
Pemotongan tali pusat harus  menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat tidak dibungkus.
3.      Perawatan tali pusat yang baik
Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena akan terjadi infeksi.
4.        Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid  (TT) pada ibu hamil
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian  TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke tubuh bayinya.
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .








Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan

Dosis

Saat Pemberian

% Perlindungan

Lama Perlindungan

TT1

TT2

TT3


TT4


TT5


Pada kunjungan pertama atau sedini mungkin pada kehamilan
Minimal 4 minggu setelah TT1
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT3 atau selama kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah TT4 atau selama kehamilan berikutnya
0

80 %
95 %

99 %
99 %

Tidak ada


3 tahun
5 tahun
10 tahun

selama usia subur
Diagnosa Keperawatan
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
  1. Bahaya terjadinya gangguan pernafasan
Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus.


Tindakan yang perlu dilakukan :
  1. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal di bawah bahunya.
  2. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis   (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi).
  3. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
  4. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
  5. Observasi tanda vital setiap ½ jam .
  6. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.
  7. Jika bayi menderita apnea :
®    Hisap lendirnya sampai bersih
®    O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)
®    Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6 x/menit.
®    Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.
2.      Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan  makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.


3.      Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.